Saturday, July 07, 2007
Politik Bersih, Adakah?
Pertanyaan itu muncul kala aku mendengar banyak orang berujar, “politik itu kotor”. Banyak orang yang bahkan berkata, politik itu busuk. Jika kemarin seseorang “menyogok” simpatisan agar dirinya dipilih menjadi pejabat, setelah dipilih, eh dia malah jadi penjahat. Mmm... dan kalo kita belajar sejarah, kayaknya politik juga nggak pernah lekang dengan pro-kontra. .Jangankan di kursi pemerintahan, banyak mahasiswa pun mengaku kalo politik yang mereka jalanin itu ngga bersih dan banyak intriknya.
Apakah politik memang hanya seperti itu? Adakah politik yg bersih? Kalau nggak ada, kenapa mesti ada jurusan politik? (halah)
Kalo secara harfiah sih, politik kelihatannya bersih. Politik, dipahami sebagai suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dan kalo menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Nah, kalo segitu mulianya politik, kenapa banyak orang menyebut politik itu kotor? Dan kenapa ketika seseorang dijegal temannya sendiri hingga terjungkal dari kursi empuk pemerintahannya, maka orang lalu berkomentar, “yaa..itulah politik”?
Sebenernya, kalo kita mau berpikir secara jernih, kita bisa bikin analogi. Politik itu ibarat air. Basically, nggak ada tuh istilah air kotor. Karena semua air sebenernya bersih. Kalo orang menyebutnya air kotor, sebenernya maksudnya adalah air itu tercemar oleh kotoran. Kalo nggak percaya, coba air itu disaring baik-baik pake penyaring koloid, pasti akan terpisah mana air bersih mana kotoran.
Sama halnya dengan politik. Politik juga pada dasarnya bersih. Seperti air tadi, politik kotor berarti politik yang tercemari kotoran. Kotoran itu adalah orang-orang yang bermain di dalamnya. Politikus yang mengunakan pikiran kotor akan memperkaya dirinya dengan uang berlimpah dari politik. Uang itu kelak disebut uang kotor. Uang kotor itu lalu dipergunakan lagi untuk mendapatkan kekuasaan lebih. Dan mungkin karena itulah politik dan segala elemen yang ada di dalamnya disebut kotor oleh orang-orang.

Politik zaman sekarang juga identik dengan orang-orang yang ambisius. Sebenernya nggak salah sih, tapi yang sekarang terjadi, setelah pemilihan pemimpin lewat politik, dimana calonnya mengajukan diri, biasanya akan berdampak negatif pada si target setelah diangkat. Walau nggak semua kasus begitu. Bandingin sama zaman nabi. Para sahabat malah saling menunjuk satu sama lain dan saling mempromosikan untuk menjadi pemimpin. Bukannya mengajukan diri apalagi rebutan kekuasaan. Atau nggak usah jauh-jauh deh, kalo kita mau solat berjama’ah aja, orang-orang tidak rebutan untuk jadi imam. Biasanya yang dituakan yang dipersilahkan untuk jadi imam. Maka untuk jadi pemimpin politik, seyogyanyalah kita bersikap sama. Pemilihan didasarkan pada kesepakatan publik, bukan pencalonan diri yang saat ini diterapkan di Negara2 demokrasi. Karena kekuasaan pada dasarnya adalah amanah dari Tuhan yang berat, bahkan beerrrraaaaaat banget. Jadi nggak panteslah kita gontok2an untuk ndapetin ini. Iya kan?
Dan bener juga, kalo jadi imam solat berjama’ah kok nggak ada yang gontok2an yah? Apa karena kurang menggiurkan?
Coba kita bayangkan, bagaimana jadinya jika sebuah Negara dimanage dengan politik kotor, piktor, permainan kotor, intrik kotor, dan segala yang kotor lainnya. Mau jadi apa negeri itu? Kasihan rakyatnya, jadi korban kelakuan kotor orang-orang yang mereka beri amanah. Budaya politik yang begini ini nih, harus segera dibabat habis…
Tapi masalahnya, banyak politikus yang udah di-label “kotor” sama rakyat gara-gara ulah mereka di dunia politik yang memang kotor, tapi si politikus malah nggak mau ndengerin. Setiap kali diingetin, malah ada yang berkomentar bahwa politik kotor itu hal yang sudah biasa dilakukan, dan udah seharusnya kita berlatih untuk menghadapi hal-hal seperti itu. Politik kotor itu bisa jadi lebih parah, bahkan bisa sampai taruhan nyawa. Jadi kita harus udah siap melihat kenyataan pahit politik dari sekarang.
Kenapa ya, kok kita disuruh memaklumi politik kotor? Gimana nanti dengan generasi penerus bangsa yang insya Allah jadi politikus2 selanjutnya? Bukankah memaklumi politik yang kotor, akan mendorong kita untuk memaklumi tindakan kotor kita kelak di dunia politik? Trus, mau sampai kapan negeri kita akan bersih dari politik kotor? Sampai kapan kita masih mau berkutat dengan politik kotor?
Sebuah kesalahan itu nggak seharusnya selalu dimaklumi. Budaya memaklumi di Indonesia mestinya segera dipangkas.
Oke, untuk memangkasnya memang nggak mudah. Tapi, kita bisa kok mulai dari diri sendiri. Karena kalo bukan dari kita sendiri, lalu siapa lagi? Kalo sebuah kesalahan dibiarkan berlaku terus-menerus di Negara ini, sampai kapan kita akan berubah? Kelak anak-cucu kita pun akan melihat dan mencontoh perbuatan kita ini. Bila kita tak mau anak-cucu kita bersama2 terjerembab dalam jurang politik kotor, berarti sudah waktunya kita berubah. Minimal, nggak men-stigma-kan dan menyebut politik sebagai hal yang kotor. Kalopun ada kotoran di situ, selayaknyalah kita bersihkan. Dan bukannya malah memakluminya. Oke? Kalo ada politik yang bersih, kenapa kita masih mau yang kotor? =D
Apakah politik memang hanya seperti itu? Adakah politik yg bersih? Kalau nggak ada, kenapa mesti ada jurusan politik? (halah)
Kalo secara harfiah sih, politik kelihatannya bersih. Politik, dipahami sebagai suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dan kalo menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Nah, kalo segitu mulianya politik, kenapa banyak orang menyebut politik itu kotor? Dan kenapa ketika seseorang dijegal temannya sendiri hingga terjungkal dari kursi empuk pemerintahannya, maka orang lalu berkomentar, “yaa..itulah politik”?
Sebenernya, kalo kita mau berpikir secara jernih, kita bisa bikin analogi. Politik itu ibarat air. Basically, nggak ada tuh istilah air kotor. Karena semua air sebenernya bersih. Kalo orang menyebutnya air kotor, sebenernya maksudnya adalah air itu tercemar oleh kotoran. Kalo nggak percaya, coba air itu disaring baik-baik pake penyaring koloid, pasti akan terpisah mana air bersih mana kotoran.
Sama halnya dengan politik. Politik juga pada dasarnya bersih. Seperti air tadi, politik kotor berarti politik yang tercemari kotoran. Kotoran itu adalah orang-orang yang bermain di dalamnya. Politikus yang mengunakan pikiran kotor akan memperkaya dirinya dengan uang berlimpah dari politik. Uang itu kelak disebut uang kotor. Uang kotor itu lalu dipergunakan lagi untuk mendapatkan kekuasaan lebih. Dan mungkin karena itulah politik dan segala elemen yang ada di dalamnya disebut kotor oleh orang-orang.

Politik zaman sekarang juga identik dengan orang-orang yang ambisius. Sebenernya nggak salah sih, tapi yang sekarang terjadi, setelah pemilihan pemimpin lewat politik, dimana calonnya mengajukan diri, biasanya akan berdampak negatif pada si target setelah diangkat. Walau nggak semua kasus begitu. Bandingin sama zaman nabi. Para sahabat malah saling menunjuk satu sama lain dan saling mempromosikan untuk menjadi pemimpin. Bukannya mengajukan diri apalagi rebutan kekuasaan. Atau nggak usah jauh-jauh deh, kalo kita mau solat berjama’ah aja, orang-orang tidak rebutan untuk jadi imam. Biasanya yang dituakan yang dipersilahkan untuk jadi imam. Maka untuk jadi pemimpin politik, seyogyanyalah kita bersikap sama. Pemilihan didasarkan pada kesepakatan publik, bukan pencalonan diri yang saat ini diterapkan di Negara2 demokrasi. Karena kekuasaan pada dasarnya adalah amanah dari Tuhan yang berat, bahkan beerrrraaaaaat banget. Jadi nggak panteslah kita gontok2an untuk ndapetin ini. Iya kan?
Dan bener juga, kalo jadi imam solat berjama’ah kok nggak ada yang gontok2an yah? Apa karena kurang menggiurkan?
Coba kita bayangkan, bagaimana jadinya jika sebuah Negara dimanage dengan politik kotor, piktor, permainan kotor, intrik kotor, dan segala yang kotor lainnya. Mau jadi apa negeri itu? Kasihan rakyatnya, jadi korban kelakuan kotor orang-orang yang mereka beri amanah. Budaya politik yang begini ini nih, harus segera dibabat habis…
Tapi masalahnya, banyak politikus yang udah di-label “kotor” sama rakyat gara-gara ulah mereka di dunia politik yang memang kotor, tapi si politikus malah nggak mau ndengerin. Setiap kali diingetin, malah ada yang berkomentar bahwa politik kotor itu hal yang sudah biasa dilakukan, dan udah seharusnya kita berlatih untuk menghadapi hal-hal seperti itu. Politik kotor itu bisa jadi lebih parah, bahkan bisa sampai taruhan nyawa. Jadi kita harus udah siap melihat kenyataan pahit politik dari sekarang.
Kenapa ya, kok kita disuruh memaklumi politik kotor? Gimana nanti dengan generasi penerus bangsa yang insya Allah jadi politikus2 selanjutnya? Bukankah memaklumi politik yang kotor, akan mendorong kita untuk memaklumi tindakan kotor kita kelak di dunia politik? Trus, mau sampai kapan negeri kita akan bersih dari politik kotor? Sampai kapan kita masih mau berkutat dengan politik kotor?
Sebuah kesalahan itu nggak seharusnya selalu dimaklumi. Budaya memaklumi di Indonesia mestinya segera dipangkas.
Oke, untuk memangkasnya memang nggak mudah. Tapi, kita bisa kok mulai dari diri sendiri. Karena kalo bukan dari kita sendiri, lalu siapa lagi? Kalo sebuah kesalahan dibiarkan berlaku terus-menerus di Negara ini, sampai kapan kita akan berubah? Kelak anak-cucu kita pun akan melihat dan mencontoh perbuatan kita ini. Bila kita tak mau anak-cucu kita bersama2 terjerembab dalam jurang politik kotor, berarti sudah waktunya kita berubah. Minimal, nggak men-stigma-kan dan menyebut politik sebagai hal yang kotor. Kalopun ada kotoran di situ, selayaknyalah kita bersihkan. Dan bukannya malah memakluminya. Oke? Kalo ada politik yang bersih, kenapa kita masih mau yang kotor? =D
0 comments: to “ ”
Post a Comment