Menulis seperti Kartini  

Seringkali saya takut untuk menulis. Takut tulisan saya tidak substansial. Tidak “crispy” dibaca. Takut biasa-biasa saja. Takut dibilang mengkopi pemikiran orang lain. Takut “ngawur” dan “ngalor ngidul nggak ada juntrungnya”, saking malasnya saya menilik sumber-sumber lain yang bisa menambah nilai konten. Takut apa yang saya tulis tidak bermanfaat, karena bukan manifestasi dari kesadaran saya akan tanggung jawab pada keluarga, bangsa, dan agama. Dan yang paling saya takutkan adalah, wujud penghinaan terhalus – saya takut tulisan saya tidak menarik untuk disentuh sama sekali.

Padahal, menulis bisa jadi satu-satunya kemampuan minimum saya yang bisa saya pergunakan untuk berseni, bahkan, untuk menggapai impian. Terkadang saya bermimpi menjadi seorang penguasa yang bisa membentuk suatu kaum sesuai keinginannya. Sayang sekali saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah mahasiswi berusia 19 – hampir 20 tahun, yang dengan jutaan mimpinya yang “ngawur” dan terkadang “absurd”, menginginkan perubahan ke arah yang menurut saya lebih baik.

Saya yakin saya tidak sendiri. Betapa banyak pemuda-pemudi di negeri ini yang saya yakin mampu memperbaiki bangsa ini, atau minimal mencerahkan sesamanya yang haus akan kesadaran, dengan menebar pandangan humanis mereka dalam sebuah tulisan.

Semakin yakin saya jadinya, bahwa kekuatan positif pemuda-pemudi bisa membawa perbaikan, lewat kegiatan menulis. Sebutlah Kartini, beliau adalah perempuan muda di masanya, yang meski harus menghadap Tuhan di usia 24 tahun, telah menjadi bukti dan inspirasi. Seperti kesetrum rasanya, membaca tulisan-tulisan yang ditulis oleh perempuan aristokrat bersahaja, yang saat itu tidak memiliki kebebasan dan kekuasaan, namun kekuatan tulisannya mampu menggugah nurani kemanusiaan siapapun yang membaca, bahkan hingga lebih dari seabad lamanya.

Kartini adalah sosok inspirasi sekaligus pembuka jalan bagi kaumnya. Empat tahun dipingit dalam penjara rumah sejak usia 12 tahun, yang kemudian keluar dari pingitan karena harus menurut permintaan orang tua untuk menikah – bandingkan dengan kondisi kita yang bebas dari penjajahan dan feodalisme, bebas menuntut ilmu, bebas dari pingitan, bebas menjalani hobi dan organisasi, bebas memasang target hidup sesuka hati.

Dengan usia Kartini yang singkat, Kartini sudah dikenang sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya – bandingkan dengan kita yang sudah atau hampir berkepala dua, sudahkah kita berprestasi yang berguna bagi bangsa? Kalau belum, kapan? Dan bagaimana caranya?

Kartini benar-benar menggugah saya. Membangkitkan keberanian saya. Saya jadi sadar, saya belum menebar manfaat bagi bangsa. Kartini juga membuat saya kembali optimis, bahwa meskipun kita bukan penguasa, kita bisa menghimpun kekuatan untuk memperbaiki keadaan dengan menulis.

Mudah-mudahan dengan note ini, saya dan teman-teman bisa menghidupkan kembali semangat menulis yang pernah redup, atau malah melahirkan semangat yang belum pernah terbesit dalam pikiran kita, untuk menulis, yang biarpun terkadang absurd dan crazily imaginative, namun tetap bermanfaat dan menginspirasi.

=)

Read More...