Depok: Dekat di mata, jauh di hati
Pukul 08.00 pagi, tepat saat kantor pos Depok I dibuka, aku sudah berdiri di depan gerbang berniat mengantar sepucuk surat untuk seorang teman di Jerman. Merasa bangga menjadi pelanggan pertama yang datang, tentu kukira sang kasir bagian kilat khusus akan melayaniku lebih dulu. Namun selang beberapa menit, beberapa ibu berdatangan membawa paket/surat mereka masing-masing dan dengan santainya berdiri di sampingku, bukannya di belakangku saat mengantri. Tangan-tangan mereka diulurkan sedekat-dekatnya dengan si Mbak kasir yang sedang menunggu loading komputernya, masing-masing dari mereka manggil-manggil si Mbak itu dulu-duluan minta dilayani, “Nih mbak, saya duluan Mbak..”
Et dah.....aku berteriak dalam hati... GUA NYANG DOLOAN TAUK!
Mbok kalau udah lebih tua, ya bersikap lebih dewasa, mencontohkan yang baik-baik... Ngantri kan nggak sulit..
Dan akhirnya aku menjadi orang ketiga yang dilayani oleh si Mbak kasir, bukan yang pertama, itupun setelah aku akhirnya dengan terpaksa ikutan bilang, “Nih mbak, saya yang duluan Mbak..”
Suatu siang saat pulang sekolah, aku menunggu angkot D110 dan S16 yang trayek keduanya melewati Gang Haji Jumin di Jalan Pramuka, shortcut favorit menuju komplekku kalau mau jalan kaki. Sebenernya aku bisa naik D03 yang angkotnya lebih sering lewat dan trayeknya melewati gerbang komplekku. Tapi jalan ke dalemnya jauh, mending lewat Gang Haji Jumin daripada panas-panasan jalan kaki atau ngeluarin kocek IDR 3000 untuk ojek kalau lewat depan komplek. Yaudah, alhamdulillah dapet deh angkot D110. Aku adalah satu-satunya penumpang di situ. Nggak khawatir sih, soalnya si Bapak supir mobilnya dihiasi dengan poster berbau relijius dan ada tasbih ngegantung di spionnya, dan beliau sendiri juga sudah tua dan pakai peci (lho, so what?). Selain itu, dia adalah satu dari sedikit supir D110 yang nyupirnya nggak ugal-ugalan. Maklum, biasanya supir S16 atau D110 suka ngebut kejar-kejaran setoran dengan sesama angkot bertrayek sama. Kedua angkot trayek ini memang suka untung-untungan, karena nggak selalu banyak orang Depok yang rumahnya atau tujuan perginya ke arah Cinere atau Pondok Labu.
Nah, baru 300 meteran angkot yang kunaiki berlalu, ternyata angkot yang kosong ini harus bersabar ngantri di kemacetan dekat lampu merah perlimaan Nusantara-Ps Lama-Sandra-Sawangan-Dalem. Aku yang sendirian di deket pintu bengong aja ngilangin stress nunggu. Lalu seorang bapak berumur 40 tahunan naik angkot. Dia duduk di tepat di sampingku. Aku yang masih asyik ngelamun nggak geser menjauh. Si bapak kemudian menggerepe ituannya dia dan aku mulai curiga. Jangan-jangan ini seperti yang pernah diceritakan oleh teman-temanku sebelumnya, bahwa mereka pernah melihat orang yang sexually odd di angkot dengan trayek berbeda. Akupun geser ke pojokan dan setelah kupastikan kudengar ia membuka seleting celananya akupun mengeluarkan sebuah buku dari tasku, randomly, dan karena yang terambil adalah buku cetak MTK, aku pura-pura konsen baca buku itu dan membaca rumus trigonometri dengan suara agak keras. Salting! Kecurigaan mulai memuncak dan berubah menjadi kegelisahan. Si bapak mulai menarik-ulur ituannya. What the fuck! Angkot pun berjalan setelah lampu merah berubah hijau. I swear I didn’t see his thing, tapi kupikir sebelum aku melihatnya atau ia mempertontonkannya, lebih baik aku turun dari angkot sial itu. Saat turun, tanpa sengaja kulihat ia menatapku sambil tersenyum dengan senyuman paling menjijikkan sedunia, dan kukatakan pada sang supir saat membayar, “Pak, ada orang aneh di angkot Bapak!” yang dibalas dengan manggut-manggut dan ekspresi datar.
Lelah setelah muter-muter Bogor bersama nenekku, pamanku dan temannya, suatu malam aku dan adikku diantar pulang ke Depok lewat tol Bogor. Nembus di Margonda, kamipun harus ekstra sabar bermacet-macet ria di jalan. Dari dulu tuh Margonda memang terkenal tempatnya sentra pemerintahan Depok sekaligus sentra perbelanjaan, sentra transportasi, sentra warung makan, sentra ngeceng dan karena itu maka jadilah Margonda sentra macet. Anyway, jadi, saat mobil kami sedang menunggu lampu merah depan Ramanda, aku tak sengaja membaca sebuah banner raksasa di antara spanduk-spanduk Caleg yang mewarnai Margonda; ukurannya melebihi banner konser artis papan atas Amrik, Rihanna, yang dipasang di jalan-jalan ibu kota beberapa waktu lalu. Isi banner bermodel Pak Walikota Depok H. Nurmahmudi Ismail itu adalah…. “KEMBALIKAN BUDAYA BANGSA DENGAN MAKAN MENGGUNAKAN TANGAN KANAN”. Di belakang Pak Walikota ada sedikitnya 8 foto pejabat pemerintah sedang makan menggunakan tangan kanan. Dan di bagian bawah banner ada tulisan kecil ‘pesan ini disampaikan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan Nasional’. Oke….tapi apa hubungannya antara makan pakai tangan kanan dengan butir-butir Sumpah Pemuda dan para pahlawan nasional? Lagipula, pantes mana sih pesan ini disampaikan oleh Walikota atau oleh guru TK? I mean, masih banyak isu publik sederhana yang bisa diangkat oleh seorang Walikota bermasyarakat plural seperti beliau. Pesan yang ia sampaikan tidak salah, malah sangat benar, namun, apakah itu lebih tepat tempat, waktu dan sasaran dibandingkan jika ia berpesan tentang “Mari kita ciptakan surga di Kota Depok yang bersih dengan membuang sampah pada tempatnya” atau “Kembalikan sopan santun bangsa dengan budayakan mengantri” atau “Hargailah hak orang lain untuk nyaman berkendara dengan mematuhi aturan lalu lintas” apa kek… Jangan seperti ini, bahkan seorang siswi SMA saja sudah bisa menertawakan seorang Walikota Depok. Kalau sampai ada turis asing yang membaca banner ini, mau ditaruh di mana muka kita?